KUTABLANG, BIREUEN – Otoritas Adat di Kecamatan Kutablang Kabupaten Bireuen terdiri dari Mukim Teungku Chik Dimanyang dan Mukim Teungku Chik Umar mengeluarkan aturan adat tentang Perlindungan dan Pengelolaan Rawa Paya Nie sebagai Habitat Konservasi Burung Air yang ditetapkan pada 5 Juni 2022.
Selanjutnya, Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Kutablang memasang papan larangan berburu burung dan menggunakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan di Kawasan Rawa Paya Nie, Senin (18/7/2022).
Kegiatan pemasangan papan larangan tersebut dihadiri Sekretaris Camat, Jusran SPd, Imum Mukim Teungku Chik Dimanyang, Said Fakhrurrazi, Imum Mukim Teungku Chik Umar, Tgk Ibrahim Idrus, Kepala Desa Buket Dalam, Amiruddin, Kepala Desa Kulu Kuta, Fakhruddin Ali dan aparat keamanan dari Posramil dan Pospol Kutablang.
Pemasangan papan larangan itu dilakukan untuk menindaklanjuti hasil kesepakatan adat dua otoritas mukim di Kecamatan Kutablang terkait perlindungan dan pengelolan kawasan rawa Paya Nie yang berkelanjutan.
Sebelumnya, dua mukim masing-masing Mukim Teungku Chik Dimanyang dan Mukim Teungku Chik Umar sudah melakukan tahapan proses pembentukan regulasi mulai dari penjaringan aspirasi masyarakat di sekitar Paya Nie, proses sosialisasi, hingga penandatanganan kesepakatan tersebut.
Imum Mukim Teungku Chik Dimanyak mengabadikan pemasangan papan larangan berburu burung dan menggunakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan di Kawasan Rawa Paya Nie, Senin (18/7/2022). Foto Fathan/AWF
Papan larangan itu melarang segala aktivitas penangkapan burung menggunakan senapan angin dan alat tangkap jaring yang berpotensi memusnahkan spesies burung air di habitat Paya Nie.
Kemudian juga melarang segala aktivitas penangkapan ikan menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti setrum, racun, dan bom ikan. Aturan ini ada juga disertai dengan sanksi adat yang ditetapkan kemudian oleh peradilan adat.
Seperti diketahui, kegiatan pendampingan otoritas adat di Kutablang Bireuen dilakukan LSM Aceh Wetland Foundation bekerja sama dengan LSM Selamatkan Hutan Hujan yang berbasis di Hamburg Jerman melakukan penguatan kelompok masyarakat adat terkait pengelolaan kawasan di Aceh.
Sekcam Kutablang, Jusran SPd mengatakan, pihaknya sangat mendukung langkah penerapan hukum adat atas upaya pelestarian Paya Nie. Pihak kecamatan juga , kata Jusran, akan membantu kedua Pemerintahan Mukim (adat) untuk melaksanakan dan mengawal penerapan aturan adat ini.
“Kami sangat mendukung kebijakan Mukim ini, dan kita mengajak seluruh masyarakat Kutablang mendukung kebijakan ini,” kata Jusran.
Sementara itu, Mukim Teungku Chik Dimanyang, Said Fakhrurrazi mengatakan, pihaknya memberlakukan aturan adat atas pertimbangan ekologis dan ekonomi masyarakat.
Fakta saat ini, ikan endemis semakin menyusut dan aktivitas perburuan burung sudah semakin marak, inilah yang mendorong kami menguatkan status hukum atas perlindungan dan pengelolaan kawasan Paya Nie.
“Kami sangat berharap dukungan Pemkab Bireuen untuk menguatkan status aturan adat yang sudah ada. Bupati harus menerbitkan peraturan khusus untuk perlindungan dan pengelolaan kawasan Paya Nie,” kata Said Fakhrurazi.
Imum Mukim Teungku Chik Umar, Tgk Ibrahim Idrus mengatakan, pihaknya akan terus mengawal pelaksanaan aturan adat ini. Sehingga pelaksanaannya bisa berjalan di lapangan.
“Kami akan terus mensosialisasikan ke masyarakat atas aturan yang sudah kita sepakati bersama ini,” kata Mukim Ibrahim.
Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Kutablang memasang papan larangan berburu burung dan menggunakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan di Kawasan Rawa Paya Nie, Senin (18/7/2022). Foto Fathan/AWF
Direktur Aceh Wetland Foundation, Yusmadi Yusuf mengapresiasi upaya Pemerintah Mukim Teungku Chik Dimanyang dan Pemerintah Mukim Teungku Chik Umar atas upaya yang dilakukan dalam melindungi habitat lahan basah.
Dikatakan, aturan adat adalah sebuah intsrumen hukum yang sudah mendapat pengakuan dari negara. Karena itu, keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya atas wilayah adat serta sumber daya hutan perlu perlindungan negara.
Ditambahkan, dalam Pasal 18 b ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati tiap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya.
Kemudian penguasaan atas wilayah, tanah dan sumber daya alamnya sebagai salah satu pilar identitas masyarakat hukum adat, diperkuat lagi dalam pasal 6 (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; “Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat (hak-hak atas wilayah adat) dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. (*)