Paya Nie akan Jadi Kawasan Konservasi

BIREUEN – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bireuen menyatakan akan menjadikan Rawa Paya Nie sebagai kawasan konservasi lahan basah. Upaya penguatan status kawasan tersebut Paya Nie sebagai bagian tindak lanjut dari status hukum saat ini sebagai kawasan perlindungan kawasan bawahan.

Hal itu disampaikan Asisten III Pemkab Bireuen, Dailami SHut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di ruang BANMUS DPRK Bireuen, Rabu 31 Agustus 2022.

Dailami mengatakan Paya Nie adalah kawasan serapan air yang perlu dijaga dan dilestarikan. Karena itu diperlukan penguatan regulasi dan penetapan kawasan tersebut hingga dibentuk forum untuk pengelolaan Paya Nie yang berkelanjutan.

“Perlu dilahirkan regulasi dan dibuat Forum atau Tim kerja agar pembangunan lebih sistematis (terukur). Kita perlu kesepahaman dan komitmen tidak hanya sebatas wacana. Perlu dibentukkan pokja-pokja untuk pembahasan yang lebih spesifik. Dan Bicara Paya Nie adalah bicara kepentingan kabupaten,’’ kata Dailami.

Sebelumnya, pertemuan itu diinisiasi Aceh Wetland Fundation dengan menghadirkan dua Imum Mukim yang telah sukses menyepakati sejumlah aturan adat terkait pengelolaan Paya Nie berkelanjutan.

Mukim Teungku Chik Dimanyang, Said Fakhrurazi mempresentasikan upaya yang sudah dilakukan oleh Mukim di Kutablang dalam upaya melindungi, mengelola, dan memanfaatkan kawasan Paya Nie.

Sementara itu Wakil Ketua DPRK Bireuen, Suhaimi Hamid mengatakan persoalan yang dihadapi Paya saat ini adalah ancaman alih fungsi baik untuk pertanian maupun perkebunan.

 “Kami sangat mendukung upaya ini dan mengapresiasi atas lahirnya kesepakatan adat yang telah dilahirkan oleh dua mukim di kawasan Paya Nie,” kata pria kerap disapa Abu Suhai ini.

Namun menurutnya, harus ada penguatan status hukum agar nanti tidak ada pertentangan di dalam masyarakat.

Karena itu, kesepakatan adat yang telah dibentuk oleh Mukim harus ada pengawasannya dan juga harus dibentuk penyelenggara adat untuk di kawasan Paya Nie guna menindak pelaku pelanggaran dari aturan Mukim tersebut.

Sementara itu, Kabid Infra Struktur dan Pengembangan Wilayah Bappeda Bireuen, Saiful ST mengatakan, berdasarkan Qanun No 7 Tahun 2013 tentang RTRW dan di dalam pasal 27 disebutkan bahwa Paya Nie memiliki luas 304,19 hektare dan status hukum saat ini adalah sebagai kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahan.

Karena itu, Paya Nie hanya bisa dikelola untuk kepentingan konservasi dan jasa lingkungan lain sejauh tidak mengalih fungsi kawasan rawa.

Menanggapi semua masukan dari berbagai Dinas terkait, Ketua Komsi II DPRK Bireuen, Tgk Munazir mengatakan bahwa hasil pertemuan tersebut akan dilanjutkan dengan pertemuan susulan yang akan membahas teknis pembentukan forum atau pokja yang membidangi persoalan Paya Nie.

“Kita sudah menghimpun banyak masukan, dan semua masukan ini akan kita tindaklanjut untuk pengelolaan Paya Nie yang berkelanjutan. Semoga kita bisa sertifikatkan Paya Nie ini,” kata Tgk Munazir Nurdin SSos.

Direktur Aceh Wetland Foundation, Yusmadi Yusuf MKom sangat mengapresiasi hasil pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Bireuen.

“Kita sangat mengapresiasi masukan dari legislatif dan eksekutif di Bireuen, ini awal yang baik untuk bersama mempertahankan Rawa Paya Nie yang masih tersisa,” kata Yusmadi.

Disebutkan, sebagai kawasan perlindungan kawasan bawahan karena Paya Nie merupakan sebuah kawasan yang tersedia air dari permukaan tanah ke dalam zona jenuh air sehingga membentuk suatu aliran air di dalam tanah.

Fungsi daerah serapan sendiri untuk menampung debit air hujan dan menjadi pengendali penting saat banjir dan kemarau.

Karena itu, melindungi dan memanfaatkan harus jadi upaya bersama seluruh masyarakat Bireuen.

Sebelumnya diberitakan, Pemerintahan Mukim di Kecamatan Kutablang terdiri dari Mukim Teungku Chik Dimanyang dan Mukim Teungku Chik Umar mengeluarkan aturan larangan berburu burung di dalam ekosistem rawa Paya Nie.

Aturan tersebut ditetapkan pada 5 Juni 2022, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digelar di Kantor Aceh Wetland Foundation di Gampong Blangme, Kutablang, Bireuen.

Kegiatan tersebut digelar oleh Aceh Wetland Foundation bekerja sama dengan LSM Selamatkan Hutan Hujan – yang fokus pada penguatan komunitas adat di seluruh kawasan hutan hujan di seluruh dunia. (*)

Sumber: Acehsatu.com

Bagikan