Aceh Wetland Foundation (AWF) ikut mendesak Pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Penambangan dan ekspor pasir laut bukanlah solusi pembangunan yang berkelanjutan. Kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari hasil dan manfaat.
Data yang dirilis Walhi, penambangan dan ekspor pasir laut telah terbukti menyebabkan konflik dan memberikan dampak buruk terhadap SDA dan lingkungan hidup. Pemanfaatan sedimentasi hasil laut pernah dilarang lewat SK Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 dengan alasan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas (di antaranya tenggelamnya pulau-pulau kecil), khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah.
Alih-alih menerima rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum ini, pada 16 Oktober 2023, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengeluarkan aturan teknis, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Karena itu, kami meminta Pemerintah membatalkan PP No. 26 Tahun 2023 karena regulasi itu akan membuka kembali peluang pintu ekspor pasir laut.
Desakan pencabutan PP ini, sejalan dengan rekomendasi yang telah disampaikan oleh Tim Percepatan Reformasi Hukum pada 23 September 2023.
Sedimentasi laut adalah penambangan pasir laut
Walhi menilai, istilah sedimentasi laut yang digunakan dalam PP No. 26 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No. 33 Tahun 2023 itu digunakan sebagai upaya untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya dari regulasi ini.
Frasa Pengelolaan Sedimentasi Laut sebenarnya bermakna ‘Penambangan pasir laut’.
Selain itu, penyebutan istilah sedimentasi laut yang diambil untuk memulihkan ekosistem dalam regulasi ini, pada dasarnya upaya pemutarbalikan tujuan sebenarnya, yakni pengambilan sedimen atau pasir laut untuk tujuan komersil.
Tak hanya itu, penggunaan kata pembersihan dalam regulasi tersebut terlihat sangat bermakna ramah lingkungan dan menjaga kesehatan laut. Tetapi sebenarnya hal itu bermakna pengambilan material pasir dengan cara keruk ataupun menggunakan kapal hisap skala besar.
Ini adalah penggunaan istilah yang terkesan ramah lingkungan, tapi sebenarnya merupakan politik bahasa yang digunakan Pemerintah untuk mengelabui pikiran masyarakat. Ini adalah upaya manipulasi biru (blue washing),” tulis Walhi dalam pernyataannya.
Konsideran PP 26 Tahun 2023 yang hanya mencantumkan Pasal 5 UUD 1945 tentang kewenangan Presiden membuat PP, serta UU No. 32 Tahun 2014 menunjukkan bahwa PP ini tidak bertujuan untuk menjaga lingkungan, terutama di pesisir, laut, dan pulau kecil, karena beragam undang-undang yang mengatur khusus urusan itu (lex specialis) tidak dijadikan dasar hukum oleh Pemerintah.
Selain itu, biaya pemulihan lingkungan akibat pertambangan pasir laut jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan.
Hasil kajian Walhi bersama dengan para ahli mengungkapkan, jika 1 meter kubik menghasilkan Rp1, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan sebesar Rp5. Artinya, biaya pemulihan lingkungan hidup itu lebih besar lima kali lipat dari pendapatan.
Data ini disampaikan untuk membantah pemerintah Indonesia yang menargetkan peningkatan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari sektor kelautan dan perikanan terutama mendorong eksploitasi sumber daya pesisir dan laut.
Sebagai contoh, jika digunakan asumsi harga per meter kubik sebesar SGD7,5, maka biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir sebanyak 344,8 juta meter kubik pasir laut sebesar SGD129,3 juta atau setara Rp1,507 triliun per tahun.
Dengan demikian, penambangan pasir laut hanya akan melanggengkan kerusakan di laut Indonesia, menghancurkan kehidupan lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan tradisional, dan pemerintah Indonesia harus mengeluarkan dana pemulihan jauh lebih besar dari keuntungan yang didapatkan.
“Oleh karena itu, kami ikut mendesak Pemerintah mencabut PP No. 26 Tahun 2023 dan seluruh aturan di bawahnya. Ini jalan terbaik bagi masa depan lautan Indonesia dan masa depan masyarakat dan habitat pesisir dan keluatan, khususnya nelayan. ***