Selamatkan Rawa Tripa

Negara tidak Seharusnya Berdamai dengan Penjahat Lingkungan

Di tengah optimisme memulihkan Rawa Tripa yang tumbuh, justru semangat itu dilucuti oleh sikap pemerintah yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi, dari pada keberlanjutan lingkungan.

PENGADILAN Negeri Meulaboh pada 15 Juli 2014 telah memvonis bersalah PT. Kallista Alam karena membakar lahan gambut Rawa Tripa seluas 1.000 hektar di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya, Aceh, pada 2009-2012.

 

PT Kallista Alam merupakan salah satu dari 22 perusahaan yang digugat oleh pemerintah sejak tahun 2013 atas kebakaran hutan dan lahan; 14 di antaranya dinyatakan bertanggung jawab dan diperintahkan untuk membayar denda.

 

Kasus PT Kallista Alam seharusnya menjadi contoh bagaimana pemerintah menindak perusahaan-perusahaan yang membakar hutan atau yang membiarkan pembakaran di konsesi mereka.

 

Perusahaan Kallista Alam ini sudah mengganti rugi materil sebesar Rp114 miliar ke negara, namun belum membayar denda Rp251 miliar terhadap pemulihan lahan.

 

Namun hal yang mengejutkan, setelah menunggu hampir 15 tahun, Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan akhirnya memilih jalan damai dengan PT. Kallista Alam atas tuntutan pembayaran Rp 251 miliar untuk pemulihan 1.000 hektar lahan yang dibakar di Rawa Tripa.

 

Sistem penyelesaian kasus perdata di luar pengadilan yang berlaku di Indonesia dijadikan celah hukum melakukan lobi-lobi politik menghindari pembayaran pemulihan lingkungan. Kebijakan ini tentu akan berdampak terhadap upaya pemulihan lingkungan di areal 1.000 hektar lahan yang dibakar.

 

“Kami merasa sedih, ketika negara akhirnya negara yang menjadi wali atas kepentingan rakyat berdamai dengan penjahat, hati tercabik-cabik, kemana lagi masyarakat dapat menggantungkan harapan atas keadilan lingkungan,” kata Yusmadi Yusuf, Direktur Eksekutif Aceh Wetland Foundation.

 

Yusmadi menambahkan, meski hukum perdata di Indonesia mengenal penyelesaian di luar jalur pengadilan, namun keputusan pemerintah berdamai dengan koorporasi perusak hutan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di sektor kehutanan di Indonesia.

 

“Seharusnya penjahat itu diberi efek jera dan dapat menjadi peringatan bagi perusahaan lain agar tidak merusak hutan dan lingkungan,” sebut Yusmadi.

 

Yusmadi menilai kebijakan Presiden Prabowo dan Menhut Raja Juli Antoni memperluas 20 juta hektar lahan sawit telah berdampak pada kebijakan kompromi dengan perusahaan perusak lingkungan di Rawa Tripa.

 

“Pengampunan dosa-dosa perusahaan yang sudah terbukti bersalah atas kejahatan lingkungan ini mencerminkan sikap ambigu pemerintah dalam melindungi hutan gambut,” tambah Yusmadi.

 

“Kami tentu tidak terkejut dengan keputusan pemerintah ini, namun yang patut diingat bahwa kebijakan ini akan berdampak pada lemahnya upaya pemulihan lingkungan di Rawa Tripa,” demikian kata Yusmadi.

 

Di tengah optimisme memulihkan Rawa Tripa yang tumbuh, justru semangat itu dilucuti oleh sikap pemerintah yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi, dari pada keberlanjutan lingkungan.

 

Pemerintah baru seharusnya benar-benar dapat menegakkan hukum, tidak hanya untuk individu kecil, tetapi juga terhadap korporasi besar yang selama ini sering lolos dari jeratan hukum.

 

Lahan 1.000 Hektar yang Dibakar Kini Ditanami Sawit

 

Lahan seluas 1.000 hektar di Nagan Raya, Aceh merupakan lahan yang terbakar akibat kebakaran lahan gambut yang dilakukan oleh PT Kallista Alam (KA) pada tahun 2010-2012.

 

PT. Kallista Alam ini adalah perusahaan kelapa sawit yang bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. Perusahaan telah membayar ganti rugi ke negara sebesar Rp 114 miliar.

 

Masyarakat Aceh menunggu aksi pemulihan lingkungan hidup secara mandiri terhadap lahan bekas yang dibakar tersebut.

 

Temuan terbaru Koalisi Selamatkan Rawa Tripa, ternyata di lahan 1.000 hektare tersebut sudah ada pembukaan lahan untuk kelapa sawit. Kanal-kanal dibuat dan lahan gambut dikeringkan.

 

Sejumlah alat berat wara-wiri di areal lindung gambut tersebut. Sebagian lahan tersebut sudah dan sedang dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit.

 

Padahal Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, melalui Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Husaini Syamuan, secara resmi menetapkan Rawa Tripa yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai kawasan lindung gambut. Penetapan tersebut dilakukan di Suak Bahung, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, Sabtu (21/3/2015).

 

Lahan yang ditetapkan menjadi kawasan lindung gambut ini telah dimasukkan dalam Qanun Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Tata Ruang Wilayah Aceh. Gubernur Aceh juga sudah mengeluarkan Surat Nomor 590/33227 perihal tindak lanjut lahan eks PT. Kallista Alam pada 1 September 2014.

 

Nah, bagaimana tanggung jawab perusahaan Kallista Alam di lahan 1.000 hektare ini?
***

Bagikan

Informasi Terbaru
Di tengah optimisme memulihkan Rawa Tripa yang tumbuh, justru semangat itu dilucuti oleh sikap pemerintah yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi, dari pada keberlanjutan lingkungan.
Poster
Pustaka
Follow Us
[instagram-feed feed=1]
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00