Kepada Yth :
– Menteri Kehutanan Republik Indonesia
– Gubernur Aceh
– Ketua DPR Aceh
– Wali Nanggroe Aceh
– Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Aceh
– Bupati Kabupaten Gayo Lues
– Ketua DPR Kabupaten Gayo Lues
– Camat Pining
HARI ini bisa kita masih bisa melihat Aih Potih (Air Putih) Sungai Pining mengalir jernih, hutan masih membentang luas sepanjang mata memandang, kekayaan keanekaragaman hayati terdapat di dalam hutan ini –tempat masyarakat Pining menggantungkan hidupnya dari hasil hutan.
Tapi ekosistem hutan hujan ini sedang dalam incaran pengalihan fungsi. Masyarakat adat Pining kembali terusik. Hutannya akan ditebang. Sungai-sungai mereka bakal bermasalah. Pemerintah memberikan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Said Muchtar (PBPH-SM) seluas 200 hektar.
Lahan tersebut merupakan lahan yang akan disiapkan untuk kalangan mantan kombatan GAM sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Gayo Lues Nomor 500.17/166/2023 tentang pembebasan lahan di kawasan Hutan APL di perbatasan Desa Pepelah dan Pasir Putih.
Pengalokasian lahan mantan kombatan GAM, Tapol/Napol dan imbas konflik bertujuan untuk menyelesaikan konflik agraria, kedaulatan petani, ketahanan pangan, peningkatan ekonomi, dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan lestari.
Pencadangan hutan Pining untuk lahan mantan kombatan ini justru dikhawatirkan akan berdampak pada sosial dan lingkungan masyarakat Pining,
Hutan Pining adalah kawasan hutan hujan yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Mukim Pining dan Mukim Goh Lemu terletak di Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh.
Luas wilayah kawasan hutan di Kecamatan Pining totalnya mencapai 95.568,00 hektar, dengan ketinggian 400 mdpl dari permukaan laut yang memiliki flora dan fauna hingga hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup tinggi dan bersifat perlindungan serta konservasi. Salah satu HHBK yang dimanfaatkan masyarakat kampung Pertik, Kecamatan Pining adalah madu hutan.
Hutan Adat Pining
Masyarakat Pining sudah mengajukan hak atas hutan adat ke Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Pemberian Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Said Muchtar seluas 200 hektare di Desa Papelah dan Pasir Putih di Kecamatan Pining juga akan berpotensi tumpang tindih dengan pencadangan hutan adat Pining.
Bagi masyarakat Pining, hutan telah membentuk karakter dan tradisi adat istiadat yang melekat pada masyarakat adat.
Mereka telah melindungi, mengelola dan memanfaatkan hutan secara turun temurun.
Suku Gayo juga memiliki tata ruang sendiri dalam penggunaan dan perlindungan kawasan hutan. Masyarakat adat Pining hidup berdampingan dengan hutan dan satwa. Dan itu sudah berlaku sejak ratusan tahun lalu.
Karena itu, keberadaan hutan bagi masyarakat Pining merupakan hak dasar untuk dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Mereka menjadikan hutan dan sungai untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, seperti Beriken (mencari ikan di sungai di tengah hutan) Becandan, Betegangu, Bealim (mengambil rempah non kayu di hutan) Ngaro (berburu secara tradisional) Berempus (Bertani secara tradisional) yang sangat bergantung dari kawasan hutan yang dilindungi.
Bencana banjir bandang
Pining adalah kawasan hulu dari aliran sungai Tamiang. Aktivitas illegal logging masih menghantui dalam kawasan ekosistem hutan ini. Akibatnya, kawasan ini dalam ancaman bencana ekologi.
Kawasan permukiman di Kecamatan Pining pernah dihantam gelombang banjir bandang pada tahun 2006 dan tahun 2012 yang menghancurkan seluruh infrastruktur termasuk jembatan.
Eksploitasi hutan untuk pengembangan kawasan budidaya perkebunan untuk hutan Pining ini akan menambah daftar masalah pengelolaan hutan di Pining.
Komitmen Indonesia pada Forum COP-19 Diuji
Dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati Ke-16 (COP16 CBD), di Cali, Kolombia pada 21 Oktober- 1 November 2024, Pemerintah Indonesia mengakui dan mendukung pembentukan Subsidiary Body on Article 8j.
Secara garis besar, Article 8j berkaitan dengan penghormatan, perlindungan dan pengakuan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim dan relevan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati.
Pengabaian kasus masyarakat adat di Pining, Gayo Lues, Aceh menjadi ujian bagi negara dalam komitmennya mendukung dan mengakui hak masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam mereka sendiri.
Dengan demikian, bersama surat ini atas kami atas nama nama Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh menyampaikan beberapa poin tuntutan terhadap kelestarian ekosistem hutan Pining dan kesejahteraan masyarakat setempat:
– Mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kehutanan untuk mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Said Muchtar (PBPH-SM). Karena pemberian izin tersebut akan berdampak hilangnya ruang masyarakat adat mencari penghidupan dari hasil hutan dan keanekaragaman hayati yang berdampak pada terjadinya bencana ekologi.
– Masyarakat Adat Pining menolak keras segala macam bentuk kegiatan eksploitasi yang dapat mengancam keberadaan hutan Pining. Jika Pemerintah dan pihak berwenang tidak tanggap akan persoalan ini dikhawatirkan akan menjadi potensi konflik antar masyarakat di Kecamatan Pining.
– Mendesak Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kehutanan untuk segera memberikan hak Hutan Adat kepada masyarakat Pining dan kelompok masyarakat adat lainnya di seluruh Aceh.
Tertanda
Anggota Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh:
– Selamatkan Hutan Hujan
– Forum Harimau Pining
– Lembaga Pengelola Hutan Kampung Pining
– Gayo Rimba Bersatu
– Aceh Wetland Foundation
– Yayasan APEL Green Aceh
– Lembahtari
– Generasi Beutong Ateuh Banggalang